Selasa, 12 September 2017

Setangkai bibir pucat dengan kelopak senyum yang indah

Pernahkah kau lelah pada hidup? kau berharap bahwa malaikat maut datang dan menjemputmu tanpa rasa sakit.
Ketika orang-orang memandikanmu mereka terkagum, kau mati dan bibirmu yang memucat meninggalkan sesungging senyum nan indah.
Betapa sempurnanya.

Darmaji, Lelaki tua itu hanya berharap ia menemukan kematian yang selalu ia harapkan sejak dulu. Bukan di atas kasur setelah berbulan-bulan sakit.
Bukan pula ketika usianya terlalu tua dan pikun sehingga ia lupa cara buang air yang benar.
Ia berharap kematian datang ketika sedang sujud dalam sholatnya atau ketika ia perang membela agamanya, negara atau keluarganya.

Lihatlah tubuhnya yang ringkih dan kulitnya yang keriput. Luka-luka bekas sayatan belati itu selalu terlihat ketika ia membuka bajunya. Di dada, bahu dan punggung. Setiap bekas luka yang ada memberikan cerita betapa maut tak pernah menginginkannya.

Ia tak tidur malam ini. Ia mengenang masa-masa itu. Tentang Luka di punggung dan bahunya yang ia dapat puluhan tahun silam. Ketika itu ia masih sangat muda. Ia ingat islam baru menjamah kampungnya. Seorang kiai yang datang dari kampung jauh dan diam-diam Mendakwahkannya. Merekrut satu persatu pemuda di sana, ia adalah salah satunya.

Orang-orang Kampung yang dulunya sering mabuk-mabukan dan berjudi perlahan berkurang. Kepala kampung yang juga pemilik warung miras akhirnya mengendus adanya praktek gelap sang kiai. Ia membayar beberapa pemuda dari kampung sebelah. Ia tak mau tau, kiai dan para pengikutnya harus mati.

Pemuda-pemuda bayaran itu menggerebek gubuk sang kiai yang ketika itu ia dan lima santrinya sedang mengaji. Supardin ada di sana. Ia masih ingat pemuda-pemuda itu ngamuk.

Mereka mengayunkan parang secara acak seperti membabat semak belukar. Salah satu santri terkapar setelah satu sabetan parang mengenai lehernya. Kiai juga tumbang disusul santri-santri lainnya. Supardin masih berdiri, ia menggengam balok kayu. Ia dikepung tapi ia siap mati. Ia memutar-mutar balok kayu itu. Pemuda-pemuda itu tertawa.

"Jagoan terakhir, hah?"

"Bunuh!"

Satu dua sabetan berhasil ia hindari hingga satu sabetan telak di punggungnya dan bahunya membuat ia terkapar.

"Habisi, Ron."

Seorang pemuda mengangkat parangnya, hendak memotong leher Darmaji tapi orang-orang datang bergerombol. Pemuda-pemuda itu berhasil kabur meninggalkan Darmaji yang sekarat dan kawan-kawan santrinya juga kiai yang sudah tak bernyawa.

Darmaji selalu mengingat kejadian itu. Betapa beruntungnya mereka. Mereka mungkin sudah bahagia di surga. Sedangkan ia harus hidup menelan sedikit demi sedikit masa tua yang pahit di dunia yang semakin amburadul ini.

Dan luka sayatan di dada itu juga sebuah kisah lama. Hampir saja ia mengenang masa-masa itu tapi adzan subuh terdengar sejuk berkumandang. Segera ia bangkit membasuh wajah, tangan kepala dan kakinya dengan wudlu.

Ia telah melewati banyak subuh subuh yang indah, tapi tak pernah ia temui subuh seperti ini. Berbeda. Dadanya berdebar, seperti seorang pemuda yang akan ijab qabul. Ia memandang langit dan bintang tak pernah seramai dan seindah ini.

Masjid hampir penuh, seperti sholat hari jumat. Tak seperti subuh biasanya yang hanya mentok dua shaf itupun berisi orang-orang lanjut usia. Tapi subuh ini anak-anak muda ikut berjamaah.

Imam membaca surat yang cukup panjang tapi kakinya tak gemetar juga tak terasa linu. Mungkin shubuh terpanjang yang pernah ia temui tapi ia tak pernah merasakan subuh sedamai hari itu.

Sepulang sholat ia melihat rumah kecilnya sudah dikerumuni puluhan bahkan ratusan orang. Ia berlari membela kerumunan dan ia terkejut melihat seorang terbaring dengan bibir pucat dengan sesungging senyum nan indah.

Itu dia.

12 09 17
Santiagomufc

0 komentar:

Posting Komentar