Kamis, 24 Agustus 2017

Memanah gerhana

Rembulan agak merah malam ini, awan-awan tipis menghalangi cahayanya. Agak menyeramkan jika dilihat.

Kemarin malam gerhana bulan terjadi sekitar jam 11 malam hingga jam 1 dini hari. Ustadz Akhyar sudah mengingatkan selepas  berjamaah sholat magrib, bahwa di masjid akan ada sholat gerhana.

Beberapa orang masih percaya bahwa gerhana terjadi karena rembulan dimakan mahluk raksasa bernama Buto. Ada sebagian yang memukul-mukul pohon. anak-anak di tarik kepalanya agar lekas tumbuh dewasa. Meski Mereka sudah diingatkan bahwa gerhana hanya peristiwa alam, itu adalah tanda kebesaran Tuhan. Tapi mereka tetap melakukannya.

Di sebuah rumah kecil tak jauh dari pemukiman kampung  seorang pria duduk di teras. Rembulan lebih terlihat jelas dari sana, bulat sempurna. Darmaji, ia memandang rembulan yang sebentar lagi akan lenyap dimakan hitam.

Ia murung, matanya merah api. Bibirnya tak pernah menemukan bentuk untuk tersenyum. Senyumnya sudah terbenam beberapa tahun silam dan tak pernah terbit kembali.

Sulastri adalah satu alasan kenapa ia harus tersenyum, menangis dan hidup. Ia bertemu dengan Sulastri di sebuah lokalisasi dekat pelabuhan kapal nelayan. Darmaji selalu berkunjung seusai pulang melaut.

Suatu hari Darmaji datang  dan mengajaknya kabur kemudian menikah di bulan berikutnya. Sang tuan naik darah, menemukan salah satu sumber uangnya lenyap.

"Cari Sulastri, jika ketemu bunuh." Perintahnya

Tapi mereka tak pernah menemukan Sulastri kembali. Ia dan Darmaji pergi jauh.

Waktu berjalan, Sulastri menjadi wanita yang lebih baik. Ia menghapus masa lalunya, mengukir kisah baru bersama lelaki sederhana yang teramat menyayanginya.

Darmaji menjadi buruh tani. Pamit setiap pagi ketika sulastri menghidangkan nasi lauk seadanya, secangkir kopi dan senyum yang selalu mawar. Darmaji membalasnya dengan menghujani kening sulastri dengan kecupan. Selalu seperti itu. Mereka bahagia.

Hingga pada suatu malam 2 orang lelaki bertubuh besar menggedor pintu rumahnya. Ketika itu Sulastri sendiri di rumah.

"Siapa?" Tanya Sulastri, ia berjinjit mendekati pintu. Kedua tangannya mengangkat sebuah balok kayu.

"Aku."

"Aku? Siapa?"

"Teman suamimu."

"Teman yang mana?"

Lelaki di balik pintu itu tak lagi menjawab. Tak lama pintu itu roboh. Sulastri berteriak tapi salah satu lelaki besar itu sigap membungkam mulutnya.

"Bunuh jo." Teriak laki-laki itu pada temannya.

Segera ia mengeluarkan pisau dari saku jaketnya. Sebelum pisau itu menghujam perutnya, Sulastri  berhasil menggigit tangan laki-laki yang membungkam mulutnya. Lelaki itu mengerang kesakitan. Sulastri kabur. Ia meloncat dari jendela, menerobos semak belukar.

Kaki sulastri berdarah. Ia menginjak pecahan kaca. Ia menahannya. lari secepat mungkin yang ia bisa. Ia ingat suaminya pamit ke rumah Peno untuk meminjam cangkul. Air matanya bercucuran. 2 laki-laki besar itu tak jauh di belakangngya.

Tinggal beberapa langkah lagi ia akan sampai di pemukiman desa. Ia bisa meminta pertolongan di sana dan rumah peno hanya 4 gang dari pintu masuk pemukinan. Hanya perlu melewati jembatan.

Tapi hujan tadi siang membuat jembatan  menjadi licin dan sungai deras mengalir di bawahnya. Sulastri terpelset ia jatuh ke sungai terbawa deras arus. Ia berteriak tapi arus lebih deras berteriak.

Darmaji pulang malam itu, membawa martabak kesukaan Sulastri. Ia tak menemukan istrinya di manapun. Ia melihat bulan redup oleh bayangan hitam. Gerhana bulan. Ia yakin bahwa Buto yang memakan istrinya. Ia mengambil tombak berburunya dan menghujamkan ke atas tepat ke arah gerhana. Tapi Ia tak pernah berhasil membunuh gerhana. Ia selalu melakukan hal yang sama ketika gerhana datang. Membunuhnya.

Santiagomufc.
Ditulis  kemarin selepas gerhana bulan dan baru sempat menyelesaikan pagi ini.
190817

0 komentar:

Posting Komentar