Jumat, 14 Juli 2017

Sianida (a love story)

Dewi, jika kau memandangnya seperti kau lupa pada semua hal yang terasa pahit sekalipun. Ia seperti ruang yang penuh dengan kehangatan, ruang yang memberimu jalan keluar untuk lari dari masa lalu.

Bukan karena senyumnya yang indah itu atau matanya yang seperti cahaya. tapi ada sesuatu yang membuat dia istimewa. Mungkin senyumnya yang selalu mawar? Bukan. Entahlah, yang pasti jika kau mengenalnya hatimu akan berbisik
"Aku rela hidup meski di kolong jembatan sekalipun jika Dewi yang menemani,"

"Aku rela kerja siang malam demi sekuntum senyum Dewi"

Haduh..

###

November, musim hujan seperti mengetuk pintu rumahku. Sekedar bilang ia sudah datang atau ia mohon maaf karena datang terlalu awal. Bagiku tak mengapa, selama uang masih di tangan musim apapun tetap saja sama, menyenangkan.

Di luar hujan badai mengamuk bukan main. Aku sudah di kedai kopi waktu itu, menghabiskan 6 gorengan, susu hangat dan berencana memesan mie rebus. Edi yang akan mentraktir. Ada satu hal yang ia konsultasikan, perihal cinta. Anak-anak muda itu memandangku sebagai seorang playboy. Kata mereka aku gak ganteng tak lebih ganteng dari Edi, cenderung ke jelek malah. tapi anak-anak gadis banyak yang naksir. Mereka menyangka aku punya pelet atau semacam keris kecil yang bisa membuat gadis-gadis itu kesengsem.

Edi datang 5 menit kemudian. Ia setengah basah. Tak banyak bicara ia langsung memberi foto Gadis pujaannya itu. Aku mengamati beberapa menit. Memandang foto itu, Edi, foto itu, Edi, foto itu lagi, Edi lagi, foto itu lagi dan akhirnya ku simpulkan,

"Berat, Ed."

"Apanya yang berat?"

"Sainganmu kelihatannya banyak."

"Sudah pasti. Aku harus puasa berapa lama?"

"Sebulan, saat bulan ramadhan nanti. Ayo ikut aku."

Aku tau ada seorang playboy yang lebih senior, Ibad namanya, seorang kawan lama.

###

Sungguh aku tak mengerti, laki-laki seperti Ibad bisa beristri lebih dari satu. Ia tak kaya juga tak ganteng, pendek juga. bahkan jika kami berjalan bersama orang akan menyangka bahwa Primus Yustisio berjalan dengan Ucok baba.

Kedua istrinya bisa akur serumah tanpa satupun percekcokan. Saat aku dan Edi bertemu ke rumah, kedua istrinya sedang nonton sinetron India. Akur.

Aku memberikan foto gadis itu, Ibad melihat Edi, foto itu, Edi, foto itu, Edi lagi, foto itu lagi, Edi lagi, foto itu lagi dan ia beranjak dari tempat duduknya. Mengambil sesuatu di lemari.

"Sehari 3 kali sesudah makan." Kata Ibad, ia menaruh sebotol kapsul di meja.

"Apa ini?"  Tanya Edi.

Aku membisikan sesuatu padanya dan melirik Ibad.

Ibad membuka kacing bajunya dan menyembul rambut berintik yang menutupi seluruh dadanya.

"Jantan, bung. 100 ribu saja." katanya.

###

Waktu kembali terjun bebas. 6 bulan aku tak bertemu Edi. Ia tak membeli kapsul itu dari Ibad.

Bulan ke 5 ditahun berikutnya ia menemuiku di kedai kopi yang sama. Ia nampak lesu. Aku menduga ia tak punya uang.

"Dewi akan menikah bulan depan." Katanya.

"Banyak gadis lain Ed, jangan bersedih, kalau tak ada gadis janda pun tak apa. Yang lagi ngetren perjaka menikah dengan nenek-nenek." Aku menepuk pundak Edi, menguatkan hatinya.

"Kabar baiknya, kawan, aku akan segera menikah. Aku akan berhenti jadi playboy untuk selama-lamanya." Aku menyodorkan sebuah undangan yang masih terbungkus plastik.

"Dengan siapa bung?" Ia membaca undangan itu dan beberapa detik kemudian ia memandangku dengan aneh.

"Dewi?" Ia melongo.

aku tersenyum dan mengambil sesuatu dari tas, sebuah hadiah untuknya. Sebagai pelipur lara.

"Sianida."kataku.

...

Sabtu, 15 juli 2017
Santiagomufc

0 komentar:

Posting Komentar