Sabtu, 20 Mei 2017

Membunuh mandor.

Bagaimana membunuh tanpa membuatnya mati?

Mati gak papa... Yang penting aku jangan sampai masuk bui.

Santet?

Jangan. kalau santet itu balik menyerang aku atau anak istriku gimana?

Racun? Bisa jadi. Tapi bagaimana caranya? Aku tak mungkin memberinya makanan atau minuman. Mana dia mau.

Kepala Parman berkecamuk, penuh api,  mendidih. Ia baru saja dipecat. Tak tau sebabnya. Pagi-pagi sekali ia datang ke pabrik, mandor memanggil dan Hanya berkata singkat.
"Kamu dipecat." Itu saja. Hanya itu. Tanpa pesangon. Tanpa pesangon?

Jancook.

Parman meninju dinding kedai kopi itu yang membuat pemilik kedai marah.

"Maaf mbak yu. Saya gak sengaja tadi ada ular di dinding jadi saya memukulnya." Kata Parman.

Pemilik Kedai memajukan bibir dan membuang muka.
"Banyak utang, banyak tingkah." Gerutunya.

Kopi Parman sudah habis, diseruputan terakhir ia menemukan ide. Ia tersenyum.
Ia beranjak, mohon ijin pada pemilik kedai.
"Dicatat lagi ya mbak yu."

Pemilik kedai bibirnya semakin maju. Kali ini ia sama sekali tak melihat Parman. Udah Neg. Liat orang melarat bikin mood langsung drop.
....

Malamnya..
Parman bertamu ke rumah mandornya. Ia dan rencana jahatnya itu.

"Bangsat." Ia mendesis. Melihat rumah mandor yang semakin hari semakin megah. Sedangkan dirinya dan buruh-buruh yang lain. Kaya nggak mati menderita iya. Kepalanya semakin mendidih.

Ia datang baik-baik. Pura-pura. Ia hanya ingin membunuhnya. Tapi mandornya menyambut dengan sangat ramah tak seperti biasanya. Ia baik sekali, tutur kata yang mendamaikan.

Secangkir susu hangat dan beberapa mangkuk camilan terhidang di hadapannya.

"Silahkan pak dimakan." Kata sang mandor dengan senyum sangat ramah. Ramah. Apa dia kesurupan?

Kepala Parman tiba-tiba tak lagi mendidih sedikit lunak. Mungkin sang mandor berubah pikiran. Menyesal memecatnya dan memintanya untuk kembali bekerja esok pagi.

Ia menyeruput susunya, memakan camilan. Ia lapar, seharian ia belum makan. Tak berani pulang.

Pulang dan bilang ia dipecat? Perang dunia ke III pasti meledak.

"Ada perlu apa ya pak?" Tanya sang mandor.

"Eh, saya ingin..." Leher Parman tiba-tiba terasa kering, pahit, kemudian terasa sakit. Perutnya mual dan panas, mulutnya berbusa. Mata berkunang-kunang kemudian gelap.

Ia terjerembap ke lantai. Kejang-kejang, 5 menit kemudian Parman mati.

Sang mandor tertawa. Ada yang lebih jahat dan licik dari otak Parman. Otak si mandor.

Santiagomufc
Betiring, 21 mei 17.

0 komentar:

Posting Komentar