Senin, 15 Mei 2017

Hutang Parman

Kaki-kaki telanjang berlarian menerobos semak-semak penuh duri. Tak peduli. Cahaya-cahaya senter menyibak seluruh isi hutan. Tebasan-tebasan parang menyibak semak belukar yang menghalangi mereka. Mata-mata marah itu terus mencari sosok yang paling mereka benci.

"Ia pasti tak jauh dari sini. Aku menemukan bercak darah yang masih basah"

"Lepaskan anjingnya!"

Anjing-anjing terlatih itu kemudian melesat mengejar sosok yang sudah terluka parah itu.

....℅...

Hidup semakin sulit. Harga-harga setinggi langit. Parman mulai membenci pemimpin pilihannya itu. Dulu ia bela mati-matian. Berseteru dengan sanak saudara, tetangga, kawan kental hanya karena pilihan mereka berbeda. Ia salah, saat-saat susah seperti ini yang selalu ada adalah tetangga, kerabat dan kawan kental. Bukan pemimpin yang ia bela mati-matian itu. Kemana pemimpin yang katanya jujur, sederhana dan paling peduli itu? Malah bikin Parman semakin melarat saja.

Pada akhirnya, Parman terjebak hutang pada seorang rentenir. Bunganya melebihi jumlah uang yang ia pinjam. Ia hutang 5 juta 5 bulan yang lalu untuk biaya bersalin istrinya dan kini hutangnya menjadi 10 juta. Itu sudah termasuk bunganya.

Beberapa hari terakhir beberapa orang berotot datang ke rumah Parman. Menagih hutang. Parman hanya bisa bilang, bulan depan.

"Aku bingung Nas. 2hari lagi rentenir itu akan datang lagi. Tak bisa bayar habislah aku nas." Keluhnya pada Nasto, kawan ngopinya.

"Orang-orang seperti rentenir itu seperti rayap yang menggerogoti orang-orang kepepet seperti kita, man. Ayolah ikut aku kerja."

"Kerja, apa ?"

Nasto mendekatkan mulutnya ke telinga parman.

"Maling?!" Parman setengah teriak.

"Sssttt...  Kalo kau mau nanti malam datang ke rumahku. Kita bisa mendapat 20 juta man dalam semalam."

"Dosa Nas."

"Biarlah yang nanggung dosa pemimpin kita. Dia sudah bikin hidup kita semakin susah. Sudahlah, kalau kau mau, datang ke rumah" ujar Nasto, ia beranjak kemudian membayar kopi yang mereka pesan.

"Kopimu sudah aku bayar man."

......℅.....

Satu jam melewati tengah malam, parman dan Nasto sudah berada di depan rumah haji Karjo. Rumah setinggi 3 lantai itu hanya dihuni 2 satpam dan 2 pembantu.  Haji Karjo dan istrinya tinggal di Malaysia, bisnis. ketiga anaknya tinggal jauh di luar kota, Sekolah.

"Aku sudah mengatur lama rencana ini. Tak mungkin gagal aku yakin. Tugasmu hanya satu, mengawasi di sini. Aku masuk ke dalam. Tunggu aba-aba dariku." ujar Nasto.

Parman hanya mengangguk. Dadanya berdegup kencang sekali. Dosa yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Bahkan sejak lahir ia tak pernah memikirkan malam ini.

Nasto merayap, meloncat melewati gerbang setinggi  2 meter itu. Nasto hapal betul setiap sudut ruang rumah megah itu. Toh, dia mantan satpam di sana.

Jantung Parman masih berdegup kencang sekali. Menunggu Nasto. Semoga Nasto baik-baik saja. Ia mendapatkan uang itu, membayar hutang dan bertobat, kembali menjadi orang jujur. Simple.

30 menit kemudian, Nasto mengirim kode. Lantai 3 rumah itu. Nasto menggunakan tangannya, membentuk segitiga, 4 jari, 9 jari diakhiri dengan jempol. Parman tau betul kode itu.

Nasto kemudian melempar sebuah ransel yang cukup berat. Parman lari mengendap, meliuk-liuk di kegelapan meninggalkan Nasto yang masih di dalam rumah megah itu, di lantai 3.

"Maliiing.....!!" Seruan dari rumah itu.

Parman tak sempat menengok kebelakang. Ia lari tunggang langgang, memikirkan nasib sahabat karibnya itu.

Semoga Nasto baik-baik saja. Jantungnya berdegup kencang.  Ia lari sejauh ia mampu. Di kegelapan hingga ia mencapai hutan.

Tiba-tiba sebuah balok kayu menghantam punggung Parman. Ia terjerembab ke dalam semak belukar. Bogem-bogem menghantamnya bertubi-tubi di kegelapan itu, entah berapa orang. Tak ada ampun. Kepala Parman bocor, hidung berdarah. Tapi parman bisa lepas dari keroyokan itu.

Dengan tenaga yang masih tersisa ia mencoba berlari. Kaki terseok, hampir patah, nungkin retak. Ia masih memeluk ransel. Istigfar berkali-kali. Ia mengingat senyum istrinya dan wajah mungil bayinya.

Aku harus hidup... Aku harus hidup...

Terdengar lagi pekikan tak jauh di belakangnya diikuti salak anjing. Suara-suara itu semakin dekat dan sekarang tepat di belakangnya.

"Itu dia!"

Anjing-anjing itu menerkam Parman. Mencabik-cabik tubuhnya.  Anjing-anjing itu menggila, seperti baru menangkap babi hutan. Parman mati.

"Ia sudah mati nas." Ujar salah seorang di kegelapan. Satpam rumah megah itu.

"Biarkan tubuhnya tergeletak di sini. Besok kalian laporkan polisi." Ujar Nasto. Ia memungut ransel yang masih dipeluk parman. Bersimbah darah.

"Kalian lapor pada majikan bahwa uangnya sudah dibawa kabur maling yang lain. Kita bagi rata besok." Nasto menepuk pundak dua satpam, mantan rekannya itu.

Santiagomufc ®
15 mei 17

0 komentar:

Posting Komentar